Selasa, 04 September 2012

komponen strategi pembelajaran

 KOMPONEN - KOMPONEN STRATEGI PEMBELAJARAN

Komponen strategi belajar mengajar merupakan salah satu bagian dari sebuah sistem lingkungan pendidikan yang berperan dalam menciptakan proses belajar yang terarah pada tujuan tertentu. Keberhasilan dalam pencapaian tujuan pengajaran tergantung pada mutu masing-masing masukan dan cara memprosesnya dalam kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu, jika kita ingin mencapai suatu standar mutu yang sama, maka perlu memperhatikan ketujuh komponen berikut :
1.      Tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran merupakan acuan yang  dipertimbangkan untuk memilih strategi belajar-mengajar. Tujuan pengajaran yang berorientasi pada pembentukan sikap tentu tidak akan dapat dicapai jika strategi belajar-mengajar berorientasi pada dimensi kognitif.
2.      Guru. Masing-masing guru berbeda dalam pengalaman pengetahuan, kemampuan menyajikan pelajaran, gaya mengajar, pandangan hidup, maupun wawasannya. Perbedaan ini mengakibatkan adanya perbedaan dalam pemilihan strategi belajar-mengajar yang digunakan dalam program pengajaran.
3.      Peserta didik. Di dalam kegiatan belajar-mengajar, peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Seperti lingkungan sosial, lingkungan budaya, gaya belajar, keadaan ekonomi, dan tingkat kecerdasan. Masing-masing berbeda-beda pada setiap peserta didik. Makin tinggi kemajemukan masyarakat, makin besar pula perbedaan atau variasi ini di dalam kelas. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam menyusun suatu strategi belajar-mengajar yang tepat.
4.      Materi pelajaran. Materi pelajaran dapat dibedakan antara materi formal dan materi informal. Materi formal adalah isi pelajaran yang terdapat dalam buku teks resmi (buku paket) di sekolah, sedangkan materi informal ialah bahan-bahan pelajaran yang bersumber dari lingkungan sekolah yang bersangkutan. Bahan-bahan yang bersifat informal ini dibutuhkan agar pengajaran itu lebih relevan dan aktual. Komponen ini merupakan salah satu masukan yang tentunya perlu dipertimbangkan dalam strategi belajar-mengajar.
5.      Metode pengajaran. Ada berbagai metode pengajaran yang perlu dipertimbangkan dalam strategi belajar-mengajar. Ini perlu, karena ketepatan metode akan mempengaruhi bentuk strategi belajar-mengajar.
6.      Media pengajaran. Media, termasuk sarana pendidikan yang tersedia, sangat berpengaruh terhadap pemilihan strategi belajar-mengajar. Keberhasilan program pengajaran tidak tergantung dari canggih atau tidaknya media yang digunakan, tetapi dari ketepatan dan keefektifan media yang digunakan oleh guru.
7.      Faktor administrasi dan finansial. Termasuk dalam komponen ini ialah jadwal pelajaran, kondisi gedung dan ruang belajar, yang juga merupakan hal-hal yang tidak boleh diabaikan dalam pemilihan strategi belajar-mengajar.  

memulai semester baru go go semangatttttttttttttttttttt
udah pya adek tingkat lagi...... gak jadi yang paling kecil lagi deh.............. :) :)

Rabu, 27 Juni 2012

pidana tambahan


HUKUM PIDANA TAMBAHAN



JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012

KATA PENGANTAR


Segala syukur kita limpahkan kepada Allah SWT. dan Nabi Muhammad SAW. karena atas limpahan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu dan benar.

Tak lupa kami juga ucapkan terima kasih kepada teman sekelompok karena atas kerja kami masalah ini selesai atas dukungan, kesempatan, dan bantuan dari mereka semua kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman karena atas bantuan dan kesempatan dari mereka semua bahan yang kami perlukan untuk menyusun makalah ini, kami dapatkan.

Dan semoga makalah ini kelak nantinya dapat berguna bagi generasi penerus. Harapan kami agar makalah ini tetap dijaga kelayakannya agar bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan ataupun pembaca. Semoga pembaca, teman-teman, dan dosen kewarganegaraan berkenan akan isi makalah kami ini.



Semarang , 23 April 2012











BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH.
Kelompok kami diberi tugas untuk membuat makalah dengan tema hukum pidana tambahan untuk melengkapi mata kuliah hukum pidana yang di ampuh oleh bapak ngabianto. Pertama – tama kami membahas hukum pidana itu sendiri adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian. hukum pidana dibagi menjadi dua macam yaitu hukum pidana pokok dan hukum pidana tambahan. Hukum pidana pokok terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda dan hukuman tutupan. Sedangkan hukum pidana tambahan terdiri dari  hukum pidana tambahan yang ada di KUHP yaitu Pencabutan hak-hak tertentu,Penyitaan barang-barang tertentu,  Pengumuman keputusan hakim. Dan juga ada hukum pidana tambahan di luar KUHP yaitu pembayaran gati rugi ,Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut  hukum yang hidup dalam masyarakat. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun,  Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana, Pencabutan izin usaha , Pembayaran ganti rugi , Pembubaran korporasi yang diikuti likuidasi , Larangan menduduki jabatan direksi, Perintah penghentian kegiatan tertentu

1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang dapat di rumuskan permasalah yang akan di bahas:
1.      Mengetahui pengertian hukum pidana?
2.      Apa dan bagaimana hukum pidana tambahan?
3.      Penjelasan hukum pidana tambahan dalam KUHP?

1.3 TUJUAN PENULISAN
1.      Agar mengetahuin pengertian dan unsur- unsur dalam hukum pidana
2.      Agar mengetahui apa saja hukum pidana tambahan dan penjelasannya?



BAB II
PEMBAHASAN

II PENGERTIAN HUKUM PIDANA
1. W.L.G. Lemaire
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
2. Simons
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.
Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
  1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
  2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;
  3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut:
  1. Dalam arti luas, Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;
  2. Dalam arti sempit, Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.
II1. MACAM – MACAM HUKUM PIDANA  
Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :

Hukuman-Hukuman Pokok

1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra
terhadap hukuman ini.
2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.

3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukumanpenjara tidak demikian.

4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.

5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.

Hukuman Tambahan

Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan menurut KUHP  tersebut antara lain :

1. Pencabutan hak-hak tertentu.
2. Penyitaan barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim.



II.2 HUKUM PIDANA TAMBAHAN
1.     Pencabutan hak tertentu.
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan, hak-hak sipil (perdata), dan hak-hak ketatanegaraan. Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu itu ialah suatu pidana di bidang kehormatan, berbeda dengan pidana hilang kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal :
1. Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan keputusan hakim;
2. Tidak berlaku seumur hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.
Hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh undang-undang yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam pasal: 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375. Sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup.
Hak-hak yang dapat dicabut disebut dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
Pada pencabutan hak memegang jabatan, dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, dalam aturan-aturan khusus ditentukan bahwa penguasa lain yang melakukan pemecatan tersebut;
2. Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Tentang untuk berapa lama pencabutan-pencabutan hak-hak tertentu itu dapat dilakukan oleh hakim, Pasal 38 ayat (1) KUHP telah menentukan, bahwa lamanya pencabutan hak adalah :
1. Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak-hak tertentu berlaku seumur hidup;
2. Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak itu adalah sama dengan lamanya pidana pokok, yakni sekurang-kurangnya selama dua tahun dan selama-lamanya lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3. Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak-hak tertentu adalah paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun.
KUHP Pasal 36 : hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu dan hak memasuki angkatan bersenjata kecuali dalam hal yang diterangkan dalam buku ke dua dapat di cabut dalam hal pemidahan karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan atau karena memakai kekuasan, kesempatan atau sarana yang di berikan pada terpidana Karena jabatannya.
KUPH Pasal 37 :kekuasaan bapak, kekuasan wali, wali pengawas, pengampu dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri maupun atas orang lain, dapat di cabut dalam pemidanaan.
KUHP Pasal 38 : jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut
Ke 1: dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup.
Ke 2: dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tau dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
Ke 3 : dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
2.     Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Pidana perampasan telah dikenal sejak lama. Para kaisar Kerajaan Romawi menerapkan pidana perampasan ini sebagai politik hukum yang bermaksud mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya untuk mengisi kasnya. Kemudian pidana perampasan muncul dalam WvS Belanda, dan berdasarkan konkordasi dikenal pula dalam KUHP yang tercantum dalam Pasal 39.
Adapun barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan Pasal 39 ayat (1)KUHP , antara lain:
1. Benda-benda kepunyaan terpidana yang diperoleh karena kejahatan, misal uang palsu;
2. Benda-benda kepunyaan terpidana yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan dengan sengaja, misal pisau yang digunakan terpidana untuk membunuh.
Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), misalnya pada Pasal 250 bis (pemalsuan mata uang), Pasal 205 (barang dagangan berbahaya), Pasal 275 (menyimpan bahan atau benda, seperti surat dan sertifikat hutang, surat dagang).
Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara, dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.
Pada ketentuan pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan ke kas negara (Pasal 42 KUHP). Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada Pasal 41 yaitu terpidana boleh memilih apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu di antara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 30 ayat (2) yang berbunyi Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan.Di dalam praktik, apa yang disebut pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu seringkali hanya merupakan suatu tindakan pencegahan belaka, yang dilakukan dengan cara merusak atau dengan cara menghancurkan benda-benda yang telah dinyatakan sebagai disita , baik merupakan benda yang telah dihasilkan oleh suatu kejahatan, maupun merupakan benda yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan.
Oleh karena itu, tepatlah kiranya apa yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa, bahwa pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu yang semula telah dimaksud untuk menjadi suatu pidana, seringkali telah berubah fungsinya menjadi politerechtelijke vernietigning, yakni pengrusakan yang dilakukan terhadap barang-barang tertentu yang menurut sifatnya adalah berbahaya, dengan maksud agar benda-benda tersebut jangan sampai dapat digunakan oleh orang lain untuk tujuan-tujuan yang bersifat melawan hukum. Akan tetapi, benda-benda yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi pada umumnya oleh hakim hanya akan dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara tanpa disertai perintah untuk merusak atau memusnahkannya.
KUHP Pasal 41(1): Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim, tidak di bayar.
Ayat (2) Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
Ayat (3) Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai berikut : tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
Ayat (4) Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.
Ayat (5) Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga di hapus.
KUHP Pasal 42:Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.

3.     Pengumuman putusan hakim;
Putusan hakim adalah merupakan hasil (output) dari kewenangan mengadili setiap perkarayang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannyapenerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai azas hukum pidana yaitu azas legalitas yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber pada Undang-Undang artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-Undang Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim antara lain dapat diputuskan oleh hakim bagi para pelaku dari tindak pidana yang telah diatur di dalam Pasal 127, 204, 205, 359, 360, 372, 374, 375, 378, dan seterusnya, serta Pasal 396 dan seterusnya KUHP. Pada umumnya, putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.
Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi, dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.Adapun penjatuhan pidana tambahan ini mempunyai daya kerja yang bersifat mencegah secara khusus, mengingat bahwa penjatuhan pidana tambahan ini akan menyulitkan terpidana untuk kembali melakukan tindak pidana yang sejenis. Di sisi lain, juga membuat terpidana menjadi tidak dapat melakukan kembali tindak pidana yang sejenis di kemudian hari, karena hampir semua orang telah diperingatkan tentang kemungkinan terpidana akan melakukan tindak pidana yang sejenis, apabila ia diterima bekerja di jawatan atau perusahaan manapun atau apabila orang ingin berhubungan dengan terpidana setelah selesai menjalankan pidananya.
Pidana tambahan ini juga mempunyai suatu daya kerja yang bersifat mencegah secara umum, karena setiap orang menjadi tahu bahwa alat-alat negara akan menindak secara tegas, siapapun yang melakukan tindak pidana yang sama seperti yang telah dilakukan oleh terpidana, dan bukan tidak mungkin bahwa perbuatan mereka pun akan disiarkan secara luas untuk dapat dibaca oleh semua orang.
 KUHP Pasal 43:Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.

4.      Pembayaran ganti kerugian.
Sanksi Ganti kerugian, merupakan suatu sanksi yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana. Keberadaan sanksi ganti kerugian yang merupakan bagian dari pidana bersyarat dalam KUHP, serta hanya untuk tindak – tindak pidana tertentu saja, memperlihatkan perhatian bahwa perlindungan terhadap korban tindak pidana masih belum memuaskan. Apalagi jika dilihat dari penerapan sanksi Ganti kerugian sebagaimana diatur dalam hukum Pdana meteriil di atas, sampai saat ini belum bisa dikatakan telah memperhatikan korban dengan baik. Hal ini dikaitkan dengan penggunaannya yang sangat jarang. Minsalnya, pidana bersyarat adalah pidana yang sangat jarang di jatuhkan hakim. Walaupun dijatuhkan, sangat jarang yang disertai dengan syarat khusus mengganti kerugian, kecuali di Bali. Berdasarkan pengamatan penulis pidana bersyarat dengan syarat khusus ini sering dibebankan pada pelaku delik adat Lokika Sanggraha. Syarat khususnya sering berupa membayaran ganti kerugian desa, yaitu dengan jalan melakukan upacara Prayascita untuk membersihkan desa, atau ganti rugi immaterial yaitu harus menikahi gadis yang telah dihamilinya. Sedangkan sanksi Ganti Kerugian pada tindak pidana Korupsi, bahkan dikacaukan oleh Fatwa Mahkamah Agung yang memasukkannya kembali ke dalam lapangan hukum perdata, melalui pernyataannya bahwa ganti kerugian dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana dengan jalan melakukan gugatan lewat proses perdata. Tetapi dengan adanya keputusan MA dalam kasus Dicky Iskandar Dinata, yang memperlihatkan bahwa sanksi Ganti Kerugian tidak lagi dilakukan melalui jalur gugatan perdata, dapat terlihat bahwa diakuinya kembali sanksi Ganti Kerugian sebagai bagian dari hukum Pidana. Adapun berkaitan dengan ketentuan sanksi ganti kerugian dalam tindak pidana Ekonomi nampaknya lebih dekat pada sanksi atministratif.

5.      Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut  hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap setara atau sebanding dengan pidana denda Kategori I dengan besaran sejumlah Rp. 1. 500.000, 00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan terpidana maka dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda yang dapat berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi Arief[1] menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam konsep RUU KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya saja yang menjadi korban di sini adalah masyarakat adat.
        Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup (hukum pidana adat)  akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto[2] menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil.



II.2 Pidana Tambahan di luar KUHP
Pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan tersebut terbatas pada tiga bentuk di atas saja. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi misalnya, diatur juga mengenai hukuman tambahan lainnya selain dari tiga bentuk tersebut, yakni terdapat dalam Pasal 18 yang isinya sebagai berikut :
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun;
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Adapula ketentuan-ketentuan pidana tambahan lain yang tercantum dalam undang-undang lainnya , yaitu:
1. Pencabutan izin usaha (Undang-Undang No.5 tahun 1984 tentang Perindustrian);
2. Pembayaran ganti rugi (Undnag-Undang No.3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak)
3. Pembubaran korporasi yang diikuti likuidasi (Undang-Undang No.15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang);
4. Larangan menduduki jabatan direksi (Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat);
5. Perintah penghentian kegiatan tertentu (Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).









DAFTAR PUSTAKA
·         KUHP