my dream
Senin, 20 Mei 2013
teori gestalt
Ciri- Ciri Teori Gestalt1.
Menurut Max WertheimerPada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum
Gestalt dalam bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”.
Hukum-hukum itu antara lain :a.
Hukum keterdekatan (Law of
Proximity)
Selasa, 04 September 2012
komponen strategi pembelajaran
KOMPONEN - KOMPONEN STRATEGI PEMBELAJARAN
Komponen strategi belajar mengajar merupakan salah satu bagian dari
sebuah sistem lingkungan pendidikan yang berperan dalam menciptakan proses
belajar yang terarah pada tujuan tertentu. Keberhasilan dalam pencapaian tujuan
pengajaran tergantung pada mutu masing-masing masukan dan cara memprosesnya
dalam kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu, jika kita ingin mencapai
suatu standar mutu yang sama, maka perlu memperhatikan ketujuh komponen berikut
:
1. Tujuan
pengajaran. Tujuan pengajaran merupakan acuan yang dipertimbangkan untuk
memilih strategi belajar-mengajar. Tujuan pengajaran yang berorientasi pada
pembentukan sikap tentu tidak akan dapat dicapai jika strategi belajar-mengajar
berorientasi pada dimensi kognitif.
2.
Guru. Masing-masing guru berbeda dalam pengalaman
pengetahuan, kemampuan menyajikan pelajaran, gaya mengajar, pandangan hidup,
maupun wawasannya. Perbedaan ini mengakibatkan adanya perbedaan dalam pemilihan
strategi belajar-mengajar yang digunakan dalam program pengajaran.
3. Peserta
didik. Di dalam kegiatan belajar-mengajar, peserta didik mempunyai latar
belakang yang berbeda-beda. Seperti lingkungan sosial, lingkungan budaya, gaya
belajar, keadaan ekonomi, dan tingkat kecerdasan. Masing-masing berbeda-beda
pada setiap peserta didik. Makin tinggi kemajemukan masyarakat, makin besar
pula perbedaan atau variasi ini di dalam kelas. Hal ini perlu dipertimbangkan
dalam menyusun suatu strategi belajar-mengajar yang tepat.
4. Materi
pelajaran. Materi pelajaran dapat dibedakan antara materi formal dan materi
informal. Materi formal adalah isi pelajaran yang terdapat dalam buku teks
resmi (buku paket) di sekolah, sedangkan materi informal ialah bahan-bahan
pelajaran yang bersumber dari lingkungan sekolah yang bersangkutan. Bahan-bahan
yang bersifat informal ini dibutuhkan agar pengajaran itu lebih relevan dan
aktual. Komponen ini merupakan salah satu masukan yang tentunya perlu
dipertimbangkan dalam strategi belajar-mengajar.
5. Metode
pengajaran. Ada berbagai metode pengajaran yang perlu dipertimbangkan dalam
strategi belajar-mengajar. Ini perlu, karena ketepatan metode akan mempengaruhi
bentuk strategi belajar-mengajar.
6.
Media pengajaran. Media, termasuk sarana pendidikan
yang tersedia, sangat berpengaruh terhadap pemilihan strategi belajar-mengajar.
Keberhasilan program pengajaran tidak tergantung dari canggih atau tidaknya
media yang digunakan, tetapi dari ketepatan dan keefektifan media yang
digunakan oleh guru.
7.
Faktor administrasi dan finansial. Termasuk dalam
komponen ini ialah jadwal pelajaran, kondisi gedung dan ruang belajar, yang
juga merupakan hal-hal yang tidak boleh diabaikan dalam pemilihan strategi
belajar-mengajar.
Rabu, 27 Juni 2012
pidana tambahan
HUKUM PIDANA TAMBAHAN
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA
PENGANTAR
Segala
syukur kita limpahkan kepada Allah SWT. dan Nabi Muhammad SAW. karena atas
limpahan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu
dan benar.
Tak
lupa kami juga ucapkan terima kasih kepada teman sekelompok karena atas kerja
kami masalah ini selesai atas dukungan, kesempatan, dan bantuan dari mereka
semua kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa juga saya
ucapkan terima kasih kepada teman-teman karena atas bantuan dan kesempatan dari
mereka semua bahan yang kami perlukan untuk menyusun makalah ini, kami
dapatkan.
Dan
semoga makalah ini kelak nantinya dapat berguna bagi generasi penerus. Harapan
kami agar makalah ini tetap dijaga kelayakannya agar bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkan ataupun pembaca. Semoga pembaca, teman-teman, dan dosen
kewarganegaraan berkenan akan isi makalah kami ini.
Semarang , 23 April 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH.
Kelompok kami diberi tugas
untuk membuat makalah dengan tema hukum pidana tambahan untuk melengkapi mata
kuliah hukum pidana yang di ampuh oleh bapak ngabianto. Pertama – tama kami
membahas hukum pidana itu sendiri adalah semua aturan hukum yang menentukan
terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya
yang bersesuaian. hukum pidana dibagi menjadi dua macam yaitu hukum pidana
pokok dan hukum pidana tambahan. Hukum pidana pokok terdiri dari hukuman mati,
hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda dan hukuman tutupan. Sedangkan
hukum pidana tambahan terdiri dari hukum
pidana tambahan yang ada di KUHP yaitu Pencabutan hak-hak tertentu,Penyitaan barang-barang
tertentu, Pengumuman keputusan hakim. Dan
juga ada hukum pidana tambahan di luar KUHP yaitu pembayaran gati rugi ,Pemenuhan kewajiban adat
setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,
Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, Penutupan seluruh atau
sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun, Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana, Pencabutan izin usaha , Pembayaran
ganti rugi , Pembubaran korporasi yang diikuti likuidasi , Larangan menduduki
jabatan direksi, Perintah penghentian kegiatan tertentu
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar
belakang dapat di rumuskan permasalah yang akan di bahas:
1.
Mengetahui
pengertian hukum pidana?
2.
Apa
dan bagaimana hukum pidana tambahan?
3.
Penjelasan
hukum pidana tambahan dalam KUHP?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
1.
Agar
mengetahuin pengertian dan unsur- unsur dalam hukum pidana
2.
Agar
mengetahui apa saja hukum pidana tambahan dan penjelasannya?
BAB II
PEMBAHASAN
II PENGERTIAN
HUKUM PIDANA
1. W.L.G. Lemaire
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang
berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk
undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu
penderitaan yang bersifat khusus.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum
pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap
tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
2. Simons
Menurut Simons hukum pidana
itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in
objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in
subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang
berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.
Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif
sebagai:
- Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
- Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;
- Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi
bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut:
- Dalam arti luas, Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;
- Dalam arti sempit, Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.
II1. MACAM – MACAM HUKUM PIDANA
Mengenai hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam
hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :
Hukuman-Hukuman Pokok
1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
Hukuman-Hukuman Pokok
1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan
kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara
sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam
penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam
maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.
3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukumanpenjara tidak demikian.
4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.
5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan menurut KUHP tersebut antara lain :
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
2. Penyitaan barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim.
3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukumanpenjara tidak demikian.
4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.
5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan menurut KUHP tersebut antara lain :
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
2. Penyitaan barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim.
II.2 HUKUM PIDANA TAMBAHAN
1.
Pencabutan hak
tertentu.
Pidana tambahan berupa
pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut.
Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan, hak-hak sipil
(perdata), dan hak-hak ketatanegaraan. Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu
itu ialah suatu pidana di bidang kehormatan, berbeda dengan pidana hilang
kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal :
1. Tidak bersifat otomatis, tetapi harus
ditetapkan dengan keputusan hakim;
2. Tidak berlaku seumur hidup, tetapi menurut
jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.
Hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak
tertentu apabila diberi wewenang oleh undang-undang yang diancamkan pada
rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan
pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam pasal: 317, 318, 334, 347, 348,
350, 362, 363, 365, 372, 374, 375. Sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh
hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali
apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup.
Hak-hak yang dapat dicabut disebut dalam Pasal 35
KUHP, yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan
tertentu
Pada pencabutan hak memegang jabatan, dikatakan
bahwa hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, dalam
aturan-aturan khusus ditentukan bahwa penguasa lain yang melakukan pemecatan
tersebut;
2. Hak menjalankan jabatan dalam angkatan
bersenjata/TNI;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut
hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang
yang bukan anak sendiri;
5. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
tertentu.
Tentang untuk berapa lama pencabutan-pencabutan
hak-hak tertentu itu dapat dilakukan oleh hakim, Pasal 38 ayat (1) KUHP telah
menentukan, bahwa lamanya pencabutan hak adalah :
1. Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa
pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak-hak tertentu berlaku
seumur hidup;
2. Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa
pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak itu adalah
sama dengan lamanya pidana pokok, yakni sekurang-kurangnya selama dua tahun dan
selama-lamanya lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3. Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah
pidana denda maka pencabutan hak-hak tertentu adalah paling sedikit dua tahun
dan paling lama lima tahun.
KUHP Pasal 36 : hak memegang jabatan pada umumnya
atau jabatan tertentu dan hak memasuki angkatan bersenjata kecuali dalam hal
yang diterangkan dalam buku ke dua dapat di cabut dalam hal pemidahan karena
kejahatan jabatan atau kejahatan
yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan atau karena memakai kekuasan,
kesempatan atau sarana yang di berikan pada terpidana Karena jabatannya.
KUPH
Pasal 37 :kekuasaan bapak, kekuasan wali, wali pengawas, pengampu dan pengampu
pengawas, baik atas anak sendiri maupun atas orang lain, dapat di cabut dalam
pemidanaan.
KUHP
Pasal 38 : jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan
sebagai berikut
Ke
1: dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur
hidup.
Ke
2: dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya
pencabutan paling sedikit dua tau dan paling banyak lima tahun lebih lama dari
pidana pokoknya.
Ke
3 : dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun.
2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
Pidana perampasan merupakan
pidana kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Pidana perampasan telah
dikenal sejak lama. Para kaisar Kerajaan Romawi menerapkan pidana perampasan
ini sebagai politik hukum yang bermaksud mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya
untuk mengisi kasnya. Kemudian pidana perampasan muncul dalam WvS Belanda, dan
berdasarkan konkordasi dikenal pula dalam KUHP yang tercantum dalam Pasal 39.
Adapun barang-barang yang dapat dirampas menurut
ketentuan Pasal 39 ayat (1)KUHP , antara lain:
1. Benda-benda kepunyaan terpidana yang diperoleh
karena kejahatan, misal uang palsu;
2. Benda-benda kepunyaan terpidana yang telah
digunakan untuk melakukan suatu kejahatan dengan sengaja, misal pisau yang
digunakan terpidana untuk membunuh.
Sebagaimana prinsip umum
pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak
merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana
perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), misalnya pada
Pasal 250 bis (pemalsuan mata uang), Pasal 205 (barang dagangan berbahaya),
Pasal 275 (menyimpan bahan atau benda, seperti surat dan sertifikat hutang,
surat dagang).
Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang
apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara, dan bukan untuk
dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat
putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah
penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.
Pada ketentuan pertama berarti
eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum
menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan ke kas negara (Pasal
42 KUHP). Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya
berdasarkan pada Pasal 41 yaitu terpidana boleh memilih apakah akan tetap
menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga
penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu di
antara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti.
Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan
dalam KUHP pasal 30 ayat (2) yang berbunyi Jika denda tidak dibayar, lalu
diganti dengan kurungan.Di dalam praktik, apa yang disebut pidana tambahan
berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu seringkali hanya merupakan
suatu tindakan pencegahan belaka, yang dilakukan dengan cara merusak atau dengan
cara menghancurkan benda-benda yang telah dinyatakan sebagai disita , baik
merupakan benda yang telah dihasilkan oleh suatu kejahatan, maupun merupakan
benda yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan.
Oleh karena itu, tepatlah
kiranya apa yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa, bahwa pidana tambahan
berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu yang semula telah dimaksud
untuk menjadi suatu pidana, seringkali telah berubah fungsinya menjadi
politerechtelijke vernietigning, yakni pengrusakan yang dilakukan terhadap
barang-barang tertentu yang menurut sifatnya adalah berbahaya, dengan maksud
agar benda-benda tersebut jangan sampai dapat digunakan oleh orang lain untuk
tujuan-tujuan yang bersifat melawan hukum. Akan tetapi, benda-benda yang mempunyai
nilai ekonomis yang cukup tinggi pada umumnya oleh hakim hanya akan dinyatakan
sebagai disita untuk kepentingan negara tanpa disertai perintah untuk merusak
atau memusnahkannya.
KUHP
Pasal 41(1): Perampasan atas
barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila
barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam
putusan hakim, tidak di bayar.
Ayat (2) Pidana kurungan
pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
Ayat (3) Lamanya pidana
kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai berikut : tujuh
rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh
rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling
banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima
puluh sen.
Ayat (4) Pasal 31 diterapkan
bagi pidana kurungan pengganti ini.
Ayat (5) Jika barang-barang
yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga di hapus.
KUHP
Pasal 42:Segala
biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala
pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.
3. Pengumuman putusan hakim;
Putusan hakim adalah merupakan hasil (output)
dari kewenangan mengadili setiap perkarayang ditangani dan didasari pada Surat
Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan
penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannyapenerapan
pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai azas hukum
pidana yaitu azas legalitas yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum
Pidana harus bersumber pada Undang-Undang artinya pemidanaan haruslah
berdasarkan Undang-Undang Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim
antara lain dapat diputuskan oleh hakim bagi para pelaku dari tindak pidana
yang telah diatur di dalam Pasal 127, 204, 205, 359, 360, 372, 374, 375, 378,
dan seterusnya, serta Pasal 396 dan seterusnya KUHP. Pada umumnya, putusan hakim
harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP),
apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan
pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.
Pidana pengumuman putusan
hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan
seseorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini,
hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut, misalnya melalui
surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi, dan pembebanan biayanya
ditanggung terpidana.Adapun penjatuhan pidana tambahan ini mempunyai daya kerja
yang bersifat mencegah secara khusus, mengingat bahwa penjatuhan pidana
tambahan ini akan menyulitkan terpidana untuk kembali melakukan tindak pidana yang
sejenis. Di sisi lain, juga membuat terpidana menjadi tidak dapat melakukan
kembali tindak pidana yang sejenis di kemudian hari, karena hampir semua orang
telah diperingatkan tentang kemungkinan terpidana akan melakukan tindak pidana
yang sejenis, apabila ia diterima bekerja di jawatan atau perusahaan manapun
atau apabila orang ingin berhubungan dengan terpidana setelah selesai
menjalankan pidananya.
Pidana tambahan ini juga
mempunyai suatu daya kerja yang bersifat mencegah secara umum, karena setiap
orang menjadi tahu bahwa alat-alat negara akan menindak secara tegas, siapapun
yang melakukan tindak pidana yang sama seperti yang telah dilakukan oleh
terpidana, dan bukan tidak mungkin bahwa perbuatan mereka pun akan disiarkan
secara luas untuk dapat dibaca oleh semua orang.
KUHP Pasal 43:Apabila hakim memerintahkan supaya
putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan-aturan umum
lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu
atas biaya terpidana.
4.
Pembayaran
ganti kerugian.
Sanksi Ganti kerugian, merupakan suatu
sanksi yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain
untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga
kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Dewasa ini sanksi
ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga
telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin
meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana. Keberadaan
sanksi ganti kerugian yang merupakan bagian dari pidana bersyarat dalam KUHP,
serta hanya untuk tindak – tindak pidana tertentu saja, memperlihatkan
perhatian bahwa perlindungan terhadap korban tindak pidana masih belum
memuaskan. Apalagi jika dilihat dari penerapan sanksi Ganti kerugian
sebagaimana diatur dalam hukum Pdana meteriil di atas, sampai saat ini belum
bisa dikatakan telah memperhatikan korban dengan baik. Hal ini dikaitkan dengan
penggunaannya yang sangat jarang. Minsalnya, pidana bersyarat adalah pidana
yang sangat jarang di jatuhkan hakim. Walaupun dijatuhkan, sangat jarang yang
disertai dengan syarat khusus mengganti kerugian, kecuali di Bali. Berdasarkan
pengamatan penulis pidana bersyarat dengan syarat khusus ini sering dibebankan
pada pelaku delik adat Lokika Sanggraha. Syarat khususnya sering berupa
membayaran ganti kerugian desa, yaitu dengan jalan melakukan upacara Prayascita
untuk membersihkan desa, atau ganti rugi immaterial yaitu harus menikahi gadis
yang telah dihamilinya. Sedangkan sanksi Ganti Kerugian pada tindak pidana
Korupsi, bahkan dikacaukan oleh Fatwa Mahkamah Agung yang memasukkannya kembali
ke dalam lapangan hukum perdata, melalui pernyataannya bahwa ganti kerugian
dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana dengan jalan melakukan gugatan lewat
proses perdata. Tetapi dengan adanya keputusan MA dalam kasus Dicky Iskandar
Dinata, yang memperlihatkan bahwa sanksi Ganti Kerugian tidak lagi dilakukan
melalui jalur gugatan perdata, dapat terlihat bahwa diakuinya kembali sanksi
Ganti Kerugian sebagai bagian dari hukum Pidana. Adapun berkaitan dengan
ketentuan sanksi ganti kerugian dalam tindak pidana Ekonomi nampaknya lebih
dekat pada sanksi atministratif.
5.
Pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Pidana berupa pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat dianggap setara atau
sebanding dengan pidana denda Kategori I dengan besaran sejumlah Rp. 1.
500.000, 00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau pidana berupa pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat tidak dilaksanakan
terpidana maka dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda yang dapat
berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi Arief[1]
menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat
setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di
dalam konsep RUU KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban
dimana jenis pidana ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk
pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya saja yang menjadi korban di sini
adalah masyarakat adat.
Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum
yang hidup (hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan
beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami
perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang
majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang
berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto[2]
menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk
dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya
keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya
harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun
materiil.
II.2 Pidana Tambahan di luar KUHP
Pengaturan mengenai hukuman
tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya,
KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan tersebut terbatas
pada tiga bentuk di atas saja. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi misalnya, diatur juga mengenai hukuman tambahan lainnya selain
dari tiga bentuk tersebut, yakni terdapat dalam Pasal 18 yang isinya sebagai
berikut :
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana
dimana tindak pidana korupsi dilakukan;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlah
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan
untuk paling lama satu tahun;
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Adapula ketentuan-ketentuan pidana tambahan lain
yang tercantum dalam undang-undang lainnya , yaitu:
1. Pencabutan izin usaha (Undang-Undang No.5
tahun 1984 tentang Perindustrian);
2. Pembayaran ganti rugi (Undnag-Undang No.3
tahun 1997 tentang Peradilan Anak)
3. Pembubaran korporasi yang diikuti likuidasi
(Undang-Undang No.15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang);
4. Larangan menduduki jabatan direksi
(Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat);
5. Perintah penghentian kegiatan tertentu
(Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
DAFTAR PUSTAKA
·
KUHP
Langganan:
Postingan (Atom)