Rabu, 20 Juni 2012

perwakilan politik


Makalah Tugas Ilmu Negara
Perwakilan Politik


Disusun oleh:
Fitaya Khotijah            3301411073
Isna Kholidazia            3301411076
Lailatul Istiqomah       3301411079
Ilmi Ulfah N                 3301411098




JURUSAN HKN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang pemilu.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Kami  menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.


Semarang,13 Desember  2011








      I.            Pendahuluan
A.   Konsep dan Sejarah Perwakilan
Direct Demcracy (Perwakilan Langsung)
Sejarah perwakilan telah mulai di perbincangkan dalam kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namum pembahasan dalam bentuk konsep telah dimulai pada awal abad ke 14. Thomas Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk membahas masalah perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang berpengaruh sampai dewasa ini diantaranya antara  teori kemandirian wakil yang di kemukan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas bertindak dan menentukan sikapnya terhadap wakil) dianggap sebagai permulaan studi kasik terhadap perwakilan politik, disusul oleh sejumlah peneliti mulai dari John Stuart Mill (1861) sampai dengan Karl Loewenstein (1922). Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia (1968) dan Pitkin (1957) sudah lebih mendalam tentang perwakilan politik.(Sanit, 1985)
Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno, Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas.
Pada zaman Nabi Muhammad konsep perwakilan telah lama di kenal dengan sebutan Ulil Amri (pemimpin yang menjadi wakil), dimana pada saat intu telah ada yang sifatnya perwakilan dalam merumuskan berbagai persoalan bangsa. Dimana para para Ulil Amri dipilih dari kabilah-kabilah yang ada di Kota Madinah dan sekitarnya.
Konsep perwakilan yang ada pada saat itu adalah baik zaman yunani kuno dan pada zaman rasulullah masih dilaksanakan dengan demokrasi langsung (perwakilan langsung), dimana wakil dipilih secara lansung pada zaman yunani kuno dan pada zaman islam dipilih berdasarkan musyawarah siapa diantara mereka yang paling layak dalam mewakili dari para kaumnya. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti saat ini. Sementara dalam konteks perwakilan pada zaman rasulullah hanya membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat dalam konteks duniawi seperti peperangan, perekonomian negara yang kesemua itu dilaksanakan dan diputuskan jika ketentuannya tidak ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul.

Indirect Democracy (Perwakilan Tidak Langsung)
Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk melakukan demokrasi langsung sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani dan Romawi kuno, kenyataanya sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era globalisasi sekarang.
Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan sistem feodal.
Pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah raja-raja/bangsawan yang sangat feodalistis (monarchi feodal). Dalam kerajaan yang berbentuk feodal, kekuatan berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan tanah yang kaya (pengusaha). Mereka tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan). Apabila pada suatu saat menginginkan raja mengingkan penambahan tentara dan pajak maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan keinginannya dan maksud pada tuan tanah (Lord), lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak layak sehingga timbul pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga kalau raja menginginkan sesuatu makan raja tinggal memanggil mereka. Sebagai konsekwensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang terdiri dari pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini menjadi tempat meminta nasehat raja dalam rangka masalah-malasalah kenegaraan terutama yang berhubungan dengan pajak. Secara pelan tapi pasti lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut ‘’Curia Regis’’ dan kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang (Boboy, 1994).




   II.            Pembahasan
1.      Pengertian wakil dan terwakili
Definisi perwakilan atau representasi (representation) sangat bervariasi. Beberapa diantaranya adalah seperti yang dikemukakan Rao dengan mendasarkan pada pendapat Alfred de Grazia (1994) yang mendefinisikan representasi sebagai hubungan antara dua orang, wakil dengan pihak yang mewakilinya (konstituen), dimana wakil memegang otoritas untuk melaksanakan beberapa aksi yang mendapat persetujuan dari konstituennya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Hanna Penichel Pitkin (1957) sebagai proses mewakili, di mana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada kepentingan pihak yang diwakili. Wakil bertindak sedemikian rupa sehingga diantara wakil dan pihak yang diwakili tidak terjadi konflik dan jika pun terjadi, maka harus mampu meredakan dengan penjelasan. Perwakilan adalah konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar (Budiardjo, 1991:175).
Bila dilihat dari sejarah politik dan proses pembangunan politik, konsep demokrasi perwakilan sesungguhnya merupakan jawaban terhadap kondisi pertumbuhan dan perkembangan penduduk, baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga sangat mustahil untuk tetap menerapkan mekanisme dan sistem demokrasi langsung. Pada sisi lain, konsep perwakilan ini pun merupakan jawaban terhadap kebutuhan negara modern yang pada umumnya memiliki wilayah yang sangat besar. Kenyataan ini membuat demokrasi langsung menjadi pilihan yang sulit dalam sistem pemerintahan, sehingga konsepsi perwakilan mau tidak mau, menjadi pilihan yang sangat realistik.
Ditinjau dari kompleksitas permasalahannya, negara modern memiliki kadar persoalan yang sangat rumit, karena tidak setiap anggota masyarakat mampu memberikan jawaban terhadap persoalan yang ada, maka perlu dipilih sekelompok orang yang dianggap benar-benar dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada tersebut.
Dengan adanya persoalan tersebut (perubahan demografi, wilayah dan kebutuhan Negara modern) maka persoalan perwakilan politik menjadi menarik perhatian banyak kalangan. Implikasi dari munculnya konsep perwakilan, dibutuhkan lembaga-lembaga sebagai media  yang menghubungkan masyarakat dengan pemerintah. Lembaga-lembaga inilah yang mewakili kepentingan-kepentingan politik masyarakat di tingkat pemerintahan (suprastruktur politik). Pada tahap selanjutnya, lembaga perwakilan politik tersebut dikenal sebagai lembaga legislatif (Pahlevi, 2001:9).
Pola hubungan wakil-terwakil akan menentukan fokus perwakilan. Corak perwakilan inilah yang nantinya akan menentukan perjalanan transisi demokrasi. Hubungan wakil yang erat dengan kontituennya akan menempatkan konstituen di posisi penting, sehingga aspirasi konstituen menjadi hal yang harus diperjuangkan wakil. Demikian pula ketersediaan mekanisme bagi konstituen untuk berkomunikasi dengan wakilnya akan meminimalkan terjadinya oligarki perwakilan atau distorsi aspirasi sebagaimana lazim terjadi dalam demokrasi perwakilan. Siapa yang menjadi pusat perhatian wakil dalam menunaikan tugasnya akan sangat menentukan wakil apakah berhadapan dengan individu, masyarakat umum, kelompok atau partai politik. Dengan demikian, corak perwakilan akan menentukan pola perwakilan, apakah wakil mandiri (wali) atau wakil sangat bergantung pada konstituennya (utusan) atau gradasi diantara keduanya.
Pola hubungan wakil dan terwakil akan menentukan fokus perwakilan. Siapa yang menjadi pusat perhatian wakil dalam menunaikan tugasnya akan sangat menentukan wakil apakah berhadapan dengan individu, masyarakat umum, kelompok atau partai politik. Dengan demikian, corak perwakilan akan menentukan pola perwakilan, apakah wakil mandiri (wali) atau gradasi diantara keduanya (politico). Corak perwakilan inilah yang nantinya akan menentukan perjalanan transisi demokrasi. Hubungan wakil yang erat dengan konstituennya akan menempatkan konstituen di posisi penting, sehingga aspirasi konstituen menjadi hal yang harus diperjuangkan wakil. Demikian pula ketersediaan mekanisme bagi konstituen untuk berkomunikasi dengan wakilnya akan meminimalkan terjadinya oligarki perwakilan atau distorsi aspirasi sebagaimana lazimnya terjadi dalam demokrasi perwakilan.
            Salah satu ciri yang melekat pada setiap negara yang menganut sistem pemerintah demokrasi adalah dilaksanakannya pemerintahan perwakilan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi mempercayakan kepada sebagian kecil dari mereka untuk memegang kendali pemerintahan. John Stuart Mill dalam bukunya Considerations on Representatif Government yang dikutif oleh Robert A. Dahl (1992:138), mengemukakan bahwa: Karena itu, tidak ada uang kurang dari apa yang pada akhirnya dapat diinginkan lebih daripada diakuinya semua orang untuk memiliki saham dalam kekuasaan negara yang berdaulat, yaitu suatu ”pemerintahan yang demokratis”. Tetapi karena suatu masyarakat yang lebih besar tidak semua orang, tidak dapat berpartisipasi dalam semua urusan umum, akibatnya jenis yang ideal dalam suatu pemerintahan yang sempurna haruslah ”pemerintahan perwakilan”.
Keterlibatan rakyat dalam pembuatan keputusan yang mengikat, terefleksi dengan adanya lembaga perwakilan rakyat. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif merupakan salah satu instrumen penting dalam suatu negara yang menganut paham dan ajaran demokrasi. Partisipasi rakyat yang efektif dalam proses pembuatan keputusan, dikatakan oleh Robert A. Dahl (1992:164), sebagai berikut: “Sepanjang proses pembuatan keputusan yang mengikat, warga negara harus memiliki kesempatan yang cukup dan kesempatan yang sama untuk mengemukakan pilihan mereka mengenai hasil akhir. Proses pembuatan keputusan tersebut, harus mempunyai kesempatan-kesempatan yang cukup dan sama untuk menempatkan masalah-masalah dalam agenda dan menyertakan alasan mengapa diambil keputusan yang itu dan bukan yang lain”.
B.   Ciri – ciri sistem perwakilan politik
Menurut John Walke ada beberapa ciri system perwaklan politik, yaitu : pertma, fokusnya terletak pada lembaga perwakilan. Kedua, menggunakan berbagai pendekatan (tradisional and behavioral approach). Ketiga, hubungan kolektif bukan hubungan antara individu. Alfred de Grazia perwakilan politik terdiri terwakili (objek) dan hubungan dua pihak wakil (subjek) kepentingan politik.
Namun, masih tidak lengkap dengan asumsi pertanyaan : pertama, siapa wakil dan terwakili ? individu atau kelompok? Kedua, bagaimana pola interaksinya? Ketiga, bagaimana periodesisasinya antara proses mewakili dan keterwakilan, sehingga terlihat hubungan yang tidak harmonis antara yang mewakili dengan yang diwakili.
Studi yang sistematis dan serba mencakup mengenai perwakilan politik tampaknya berkembang dari penelitian-penelitian mengenai badan legislatif yang lebih dikenal dengan parlemen. Studi mengenai parlemen dari tahun ketahun semakin intensif. Penelitian atau orientasi studi tentang badan legislatif mengalami perkembangan dalam tiga tahapan, yaitu:
1.      Penelitian yang beorientasi pada kelembangaan (institusional)
Pendekatan kelembagaan melihat parlemen dari struktur dan fungsinya. pendekatan institusional memberikan pemahaman tentang hubungan formal antara wakil dengan terwakil yang terwujud sebagai pemilih, tapi kurang menjelaskan hubungan didalam kenyataan disamping kurang menerangkan interaksi yang sesungguhnya terjadi di dalam lembaga
2.      Proses, pendekatan proses melihat objek studi ini melalui proses pembuatan keputusan sebagai fungsi utamanya
3.      Tingkah laku (behavioral), maka penelitian berdasarkan tingkah laku memperhatikan sikap dan tingkah laku para anggota parlemen dalam menghasilkan setiap keputusan. Perkembangan pendekatan tingkah laku dalam bentuk studi individual telah mendorong pengembangan teori berkaitan (linkage theory) yang mengabtraksikan hubungan individual diantara wakil dengan terwakil. Dalam rangka itu peneliti menekuti style (corak) perwakilan yang berada dalam tiga kemungkinan, yaitu delegasi/utusan, wali dan politico yang merupakan gabungan antara tipe utusan dan wali.

Terwakil
Ada tiga kemungkinan yang dapat dimamfaatkan wakil untuk memusatkan perhatian terhahap terwakil, yaitu:
1.      Memberkan perhatian kepada kelompok, seorang wakil akan memberikan perhatian pada kelompok terutama kelompok pendudkungnya yang menjadi konstituennya ketika pemilu berjalan (contoh nyata dalam hal ini adalah calon independen dan utusan golongan pada masa orde baru ketika MPR masih ada utusan golongan). Fokus perwakilan pada kelompok pada dasarnya merupakan pilihan yang tersedia berhubungan dengan sifat masyarakat yang pluralistis. Masyarakat terkelompok atas tradisi, kedaerahan, ras dan bahasa, agama, mata pencaharian. Wakil tinggal memilih satu atau beberapa kelompok sebagai patokan bagi pengambilan keputusan
2.      Memberikan perhatian partai, memberikan pada partai yang mendukungnya sehingga seseorang menjadi wakil. Fokus perwakilan terhadap partai tentulah memudahkan pengorganisasin tugasnya, sebab melalui fokus ini wakil sekaligus berbuat untuk dua pihak yaitu sebagai organisasi politik yang berjasa menudukungnya menjadi wakil dan masyarakat yang bersimpati, mendukung ataupun menjadi anggota partai yang bersangkutan.
3.      Memberikan perhatian pada wilayah atau daerah yang diwakili. Seorang wakilharus memberikan perhatian lebih pada daerah atau wilayah tertantu terutama daerah dari mana seorang dipilih, contoh yang paling nyata untuk hal ini adalah DPD dan wakil yang berasal dari daerah pemilihnnya ketika pemilihan umum berlangsung.


Wakil
Wakil adalah merupakan orang yang mempunyai kulifikasi yang tentunya berhak dan cakap dalam menjalankan tugas sebagai amanat dari terwakil yang memberikan kepercayaan kepadanya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat dalam arti yang luas.  Cara jadi wakil umumnya dilakukan atau diabsahkan melalui pemungutan suara, tapi juga dalam beberapa era dan daerah (negara) masih ada yang tidak harus melalui pemilihan umum tapi melalui pengangkatan dan turun temurun seperti yang terjadi ketika jaman orde baru ada yang diangkat seperti ABRI (militer dan polisi saat ini) dan juga utusan golongan dan daerah) untuk negara inggris yang mengisi house of lord adalah orang-orang yang sifatnya turun temurun, ditunjuk dan diangkat.
Pemilihan umum dianggap sebagai tata cara menjadi anggota badan perwakilan modern karena cari ini memberikan peluang kepada anngota masyarakat untuk menyusun wakil-wakilnya secara mandiri. Perkembangan pemilihan umum ternyata memperlihatkan ada berbagai sistem yang pada pokoknya berpangkal kepada dua bentuk yang utama yaitu:
1)      Multy member constituency (sistem pemilu proporsional
2)      Single member constituency (sistem pemilu distrik)


C.   Teori Perwakilan
Dalam konteks teori modern, teori perwakilan merupakan mekanisme hubungan antara penguasa dan rakyat. Dalam negara yang menggunakan sistem politik demokrasi modern, demokrasi representatif merupakan sistem politik yang berbeda dengan kerangka kerja demokrasi langsung.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, ada tiga faktor utama yang  menjadi nilai keunggulan demokrasi representatif dibandingkan demokrasi langsung, yaitu perubahan jumlah penduduk, keadaan wilayah suatu negara yang relatif luas, dan meningkatnya kompleksitas kepentingan rakyat. Variasi kebutuhan dan  kepentingan rakyat ini harus dihadapi oleh pemerintah. Namun demikian, secara rasional tidak semua masalah dapat disampaikan secara kolektif kepada pemerintah secara langsung, karena bila hal ini dilakukan  akan menyebabkan overload tuntutan pada pemerintah yang justru dapat membuat kemandekan kerja. Implikasi dari ha1 tersebut maka dibutuhkan sebuah sistem perwakilan yang dapat menghubungkan antara masyarakat struktur dan masyarakat sebagai agensi.
Berdasarkan kajian teori terhadap analisa dan pandangan-pandangan para pemikir ilmu politik, setidaknya ada lima konsep dasar perwakilan yang umum yang terjadi (dalam Adrianus, dkk, 2006: 108-109). Kelima konsep dasar perwakilan tersebut yaitu :
(i)      Delegated Representation, yaitu seorang wakil diartikan sebagai juru bicara atas nama kelompok yang diwakilinya. Dengan demikian, seorang wakil tidak boleh bertindak di luar kuasa yang memberi mandat.
(ii)     Microcosmic Representation, konsep ini menunjukkan bahwa adanya kesamaan sifat-sifat antara mereka yang diwakili dengan diri sang wakil. Karenanya kebutuhan ataupun tuntutan wakil adalah juga kebutuhan mereka-mereka yang diwakili. Dalam konsep ini masalah kuasa dan hal-hal yang harus dilakukan tidak pernah menjadi persoalan krusial antara wakil dan yang diwakili oleh karena kesamaan sifat yang dimiliki.
(iii)    Simbolyc Representation. Dalam simbolyc representation tidak dipersoalkan juga mengenai masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa wakil melambangkan identitas atau kualitas golongan/kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya, dan merupakan bentuk perwakilan yang hendak memperlihatkan bahwa mereka-mereka yang mewakili kelompok tertentu melambangkan identitas atau kualitas klas atau golongan yang tengah diwakilinya.
(iv) Elective Representation, konsep ini dianggap belum menggambarkan kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan wakil mereka, sehingga belum menjelaskan tentang hubungan antara wakil dengan yang memilihnya.
(v)     Party Repressentation, individu-individu dalam lembaga perwakilan merupakan wakil dari partai politik (atau konstituen) yang diwakilinya. Semakin meningkatnya organisasi dan disiplin partai mendorong lahirnya party bosses dan party caucauses. Para wakil dalam lembaga perwakilan menjadi wakil dari organisasi /partai politik yang bersangkutan.
Konsep perwakilan pun dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antara wakil dan yang diwakili. Berdasarkan sudut pandang ini, dikenal ada tiga teori perwakilan, yang pertama teori mandat. Berdasarkan teori mandat (Saragih, 1988: 82),  konsep perwakilan dapat dilihat dalam tiga kelompok, yaitu mandat imperatif  (tindakan sesuai dengan perintah yang memberi mandat), mandat bebas (wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari perintah yang diwakilinya), serta mandat representation (wakil tidak kenal yang diwakili karena ditunjuk oleh partai).
Kedua, Teori Sosiologi Rieker, hubungan wakil dan yang diwakili lebih bersifat sosial daripada politis. Sang pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang dapat merepresentasikan kebutuhan dan tuntutan mereka kepada eksekutif yang menurut mereka benar-benar ahli di bidang kenegaraan dan akan benar-benar membela kepentingan pemilih.
Ketiga, Teori Organ, teori menjelaskan bahwa negara merupakan suatu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapannya, serta memiliki fungsi masing-masing dan saling bergantung. Dalam konteks ini kedaulatan rakyat sangat tampak pada saat mereka melaksanakan pemilih untuk membentuk lembaga perwakilan yang diinginkan. Setelah lembaga tersebut berdiri, rakyat pemilih tidak perlu lagi turut campur dalam berbagai kerja lembaga-lembaga negara tersebut.
Keempat, Teori Hukum Objektif Leon Duguit. Dasar hubungan antara wakil dan yang diwakili adalah solidaritas. Ilustrasi sederhananya, wakil rakyat dapat menjalankan tugas-tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sebaliknya rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas kenegarannya tanpa mendukung wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintah.
Dengan mencermati analisa konseptual dan kategori perwakilan khususnya tentang model hubungan wakil dengan rakyatnya dapat disimpulkan bahwa semua teori perwakilan mempunyai sifat perwakilan politik. Artinya seseorang yang duduk di lembaga perwakilan harus melalui proses pemilihan (umum) sebagai suatu mekanisme dalam proses politik. Karena itu yang tercipta adalah political representation, karena orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan itu pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik (Budiardjo, 2005: 175).





III.            Kesimpulan
Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno, Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pola hubungan wakil-terwakil akan menentukan fokus perwakilan. Corak perwakilan inilah yang nantinya akan menentukan perjalanan transisi demokrasi. Hubungan wakil yang erat dengan kontituennya akan menempatkan konstituen di posisi penting, sehingga aspirasi konstituen menjadi hal yang harus diperjuangkan wakil. Konsep dasar perwakilan ada 5 yaitu, Delegated Representation, Microcosmic Representation, Simbolyc Representation, Elective Representation, Party Repressentation, kelima konsep itu di lihat dari hubungan wakil dan mewakili. Perwakilan politik sebagai simbol dari wakil rakyat kepada rakyatnya.


2 komentar: