Makalah Tugas Ilmu Negara
Perwakilan Politik
Disusun oleh:
Fitaya Khotijah
3301411073
Isna Kholidazia 3301411076
Lailatul Istiqomah 3301411079
Ilmi Ulfah N 3301411098
JURUSAN HKN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan
Syukur kami
Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang
pemilu.
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari
berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya
mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Semarang,13 Desember 2011
I.
Pendahuluan
A. Konsep dan Sejarah Perwakilan
Direct Demcracy (Perwakilan Langsung)
Sejarah perwakilan telah mulai di
perbincangkan dalam kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namum pembahasan
dalam bentuk konsep telah dimulai pada awal abad ke 14. Thomas Hobbes pada
tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk membahas masalah perwakilan politik
secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang berpengaruh sampai dewasa ini
diantaranya antara teori kemandirian
wakil yang di kemukan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil
bebas bertindak dan menentukan sikapnya terhadap wakil) dianggap sebagai
permulaan studi kasik terhadap perwakilan politik, disusul oleh sejumlah
peneliti mulai dari John Stuart Mill (1861) sampai dengan Karl Loewenstein
(1922). Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia (1968) dan
Pitkin (1957) sudah lebih mendalam tentang perwakilan politik.(Sanit, 1985)
Perwakilan politik sebagai sebuah
praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum
teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di
laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman
Yunani kuno, Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup.
Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan
polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung,
karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu
luas.
Pada zaman Nabi Muhammad konsep perwakilan telah lama di kenal dengan sebutan Ulil Amri (pemimpin yang menjadi wakil), dimana pada saat intu telah ada yang sifatnya perwakilan dalam merumuskan berbagai persoalan bangsa. Dimana para para Ulil Amri dipilih dari kabilah-kabilah yang ada di Kota Madinah dan sekitarnya.
Konsep perwakilan yang ada pada saat itu adalah baik zaman yunani kuno dan pada zaman rasulullah masih dilaksanakan dengan demokrasi langsung (perwakilan langsung), dimana wakil dipilih secara lansung pada zaman yunani kuno dan pada zaman islam dipilih berdasarkan musyawarah siapa diantara mereka yang paling layak dalam mewakili dari para kaumnya. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti saat ini. Sementara dalam konteks perwakilan pada zaman rasulullah hanya membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat dalam konteks duniawi seperti peperangan, perekonomian negara yang kesemua itu dilaksanakan dan diputuskan jika ketentuannya tidak ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul.
Pada zaman Nabi Muhammad konsep perwakilan telah lama di kenal dengan sebutan Ulil Amri (pemimpin yang menjadi wakil), dimana pada saat intu telah ada yang sifatnya perwakilan dalam merumuskan berbagai persoalan bangsa. Dimana para para Ulil Amri dipilih dari kabilah-kabilah yang ada di Kota Madinah dan sekitarnya.
Konsep perwakilan yang ada pada saat itu adalah baik zaman yunani kuno dan pada zaman rasulullah masih dilaksanakan dengan demokrasi langsung (perwakilan langsung), dimana wakil dipilih secara lansung pada zaman yunani kuno dan pada zaman islam dipilih berdasarkan musyawarah siapa diantara mereka yang paling layak dalam mewakili dari para kaumnya. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti saat ini. Sementara dalam konteks perwakilan pada zaman rasulullah hanya membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat dalam konteks duniawi seperti peperangan, perekonomian negara yang kesemua itu dilaksanakan dan diputuskan jika ketentuannya tidak ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul.
Indirect Democracy (Perwakilan Tidak Langsung)
Pandangan Rousseau yang berkeinginan
untuk melakukan demokrasi langsung sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani
dan Romawi kuno, kenyataanya sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-Faktor
seperti luasnya suatu wilayah negara, populasi penduduk yang sangat cepat,
makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu
dan teknologi merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan
demokrasi langsung pada era globalisasi sekarang.
Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan sistem feodal.
Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan sistem feodal.
Pada abad pertengahan yang berkuasa
di Inggris adalah raja-raja/bangsawan yang sangat feodalistis (monarchi feodal). Dalam kerajaan yang
berbentuk feodal, kekuatan berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan
tanah yang kaya (pengusaha). Mereka tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas
tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan
(kerajaan). Apabila pada suatu saat menginginkan raja mengingkan penambahan
tentara dan pajak maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan
keinginannya dan maksud pada tuan tanah (Lord),
lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak layak sehingga timbul
pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga kalau raja
menginginkan sesuatu makan raja tinggal memanggil mereka. Sebagai
konsekwensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang terdiri dari pada
lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini menjadi tempat
meminta nasehat raja dalam rangka masalah-malasalah kenegaraan terutama yang
berhubungan dengan pajak. Secara pelan tapi pasti lembaga ini menjadi permanen
yang kemudian disebut ‘’Curia Regis’’
dan kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang (Boboy, 1994).
II.
Pembahasan
1.
Pengertian wakil dan terwakili
Definisi
perwakilan atau representasi (representation) sangat bervariasi.
Beberapa diantaranya adalah seperti yang dikemukakan Rao dengan mendasarkan
pada pendapat Alfred de Grazia (1994) yang mendefinisikan representasi sebagai
hubungan antara dua orang, wakil dengan pihak yang mewakilinya (konstituen),
dimana wakil memegang otoritas untuk melaksanakan beberapa aksi yang mendapat persetujuan
dari konstituennya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Hanna Penichel Pitkin
(1957) sebagai proses mewakili, di mana wakil bertindak dalam rangka bereaksi
kepada kepentingan pihak yang diwakili. Wakil bertindak sedemikian rupa
sehingga diantara wakil dan pihak yang diwakili tidak terjadi konflik dan jika
pun terjadi, maka harus mampu meredakan dengan penjelasan. Perwakilan adalah
konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban
untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar
(Budiardjo, 1991:175).
Bila dilihat dari sejarah politik dan proses
pembangunan politik, konsep demokrasi perwakilan sesungguhnya merupakan jawaban
terhadap kondisi pertumbuhan dan perkembangan penduduk, baik secara kualitas
maupun kuantitas, sehingga sangat mustahil untuk tetap menerapkan mekanisme dan
sistem demokrasi langsung. Pada sisi lain, konsep perwakilan ini pun merupakan
jawaban terhadap kebutuhan negara modern yang pada umumnya memiliki wilayah
yang sangat besar. Kenyataan ini membuat demokrasi langsung menjadi pilihan
yang sulit dalam sistem pemerintahan, sehingga konsepsi perwakilan mau tidak
mau, menjadi pilihan yang sangat realistik.
Ditinjau dari kompleksitas permasalahannya, negara
modern memiliki kadar persoalan yang sangat rumit, karena tidak setiap anggota
masyarakat mampu memberikan jawaban terhadap persoalan yang ada, maka perlu
dipilih sekelompok orang yang dianggap benar-benar dapat menjawab
persoalan-persoalan yang ada tersebut.
Dengan adanya persoalan tersebut (perubahan
demografi, wilayah dan kebutuhan Negara modern) maka persoalan perwakilan
politik menjadi menarik perhatian banyak kalangan. Implikasi dari munculnya
konsep perwakilan, dibutuhkan lembaga-lembaga sebagai media yang menghubungkan masyarakat dengan
pemerintah. Lembaga-lembaga inilah yang mewakili kepentingan-kepentingan
politik masyarakat di tingkat pemerintahan (suprastruktur politik). Pada
tahap selanjutnya, lembaga perwakilan politik tersebut dikenal sebagai lembaga
legislatif (Pahlevi, 2001:9).
Pola hubungan wakil-terwakil akan menentukan fokus
perwakilan. Corak perwakilan
inilah yang nantinya akan menentukan perjalanan transisi demokrasi. Hubungan
wakil yang erat dengan kontituennya akan menempatkan konstituen di posisi
penting, sehingga aspirasi konstituen menjadi hal yang harus diperjuangkan
wakil. Demikian pula ketersediaan mekanisme bagi konstituen untuk berkomunikasi
dengan wakilnya akan meminimalkan terjadinya oligarki perwakilan atau distorsi
aspirasi sebagaimana lazim terjadi dalam demokrasi perwakilan. Siapa yang
menjadi pusat perhatian wakil dalam menunaikan tugasnya akan sangat menentukan
wakil apakah berhadapan dengan individu, masyarakat umum, kelompok atau partai
politik. Dengan demikian, corak perwakilan akan menentukan pola perwakilan,
apakah wakil mandiri (wali) atau wakil sangat bergantung pada konstituennya
(utusan) atau gradasi diantara keduanya.
Pola hubungan wakil dan terwakil akan menentukan fokus
perwakilan. Siapa yang menjadi pusat perhatian wakil dalam menunaikan tugasnya
akan sangat menentukan wakil apakah berhadapan dengan individu, masyarakat
umum, kelompok atau partai politik. Dengan demikian, corak perwakilan akan
menentukan pola perwakilan, apakah wakil mandiri (wali) atau gradasi diantara
keduanya (politico). Corak
perwakilan inilah yang nantinya akan menentukan perjalanan transisi demokrasi.
Hubungan wakil yang erat dengan konstituennya akan menempatkan konstituen di
posisi penting, sehingga aspirasi konstituen menjadi hal yang harus
diperjuangkan wakil. Demikian pula ketersediaan mekanisme bagi konstituen untuk
berkomunikasi dengan wakilnya akan meminimalkan terjadinya oligarki perwakilan
atau distorsi aspirasi sebagaimana lazimnya terjadi dalam demokrasi
perwakilan.
Salah
satu ciri yang melekat pada setiap negara yang menganut sistem pemerintah
demokrasi adalah dilaksanakannya pemerintahan perwakilan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi mempercayakan kepada sebagian kecil dari mereka
untuk memegang kendali pemerintahan. John Stuart Mill dalam bukunya Considerations
on Representatif Government yang dikutif oleh Robert A. Dahl (1992:138),
mengemukakan bahwa: Karena itu, tidak ada uang kurang dari apa yang pada
akhirnya dapat diinginkan lebih daripada diakuinya semua orang untuk memiliki
saham dalam kekuasaan negara yang berdaulat, yaitu suatu ”pemerintahan yang
demokratis”. Tetapi karena suatu masyarakat yang lebih besar tidak semua orang,
tidak dapat berpartisipasi dalam semua urusan umum, akibatnya jenis yang ideal
dalam suatu pemerintahan yang sempurna haruslah ”pemerintahan perwakilan”.
Keterlibatan rakyat dalam pembuatan keputusan yang
mengikat, terefleksi dengan adanya lembaga perwakilan rakyat. Keberadaan
lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif merupakan salah satu
instrumen penting dalam suatu negara yang menganut paham dan ajaran demokrasi.
Partisipasi rakyat yang efektif dalam proses pembuatan keputusan, dikatakan
oleh Robert A. Dahl (1992:164), sebagai berikut: “Sepanjang proses pembuatan
keputusan yang mengikat, warga negara harus memiliki kesempatan yang cukup dan
kesempatan yang sama untuk mengemukakan pilihan mereka mengenai hasil akhir.
Proses pembuatan keputusan tersebut, harus mempunyai kesempatan-kesempatan yang
cukup dan sama untuk menempatkan masalah-masalah dalam agenda dan menyertakan
alasan mengapa diambil keputusan yang itu dan bukan yang lain”.
B.
Ciri – ciri sistem perwakilan
politik
Menurut John Walke ada beberapa ciri
system perwaklan politik, yaitu : pertma,
fokusnya terletak pada lembaga perwakilan. Kedua, menggunakan berbagai pendekatan (tradisional and behavioral approach). Ketiga, hubungan kolektif
bukan hubungan antara individu. Alfred de Grazia perwakilan politik terdiri
terwakili (objek) dan hubungan dua pihak wakil (subjek) kepentingan politik.
Namun, masih tidak lengkap dengan
asumsi pertanyaan : pertama, siapa
wakil dan terwakili ? individu atau kelompok? Kedua, bagaimana pola interaksinya? Ketiga, bagaimana periodesisasinya antara proses mewakili dan
keterwakilan, sehingga terlihat hubungan yang tidak harmonis antara yang
mewakili dengan yang diwakili.
Studi yang sistematis dan serba
mencakup mengenai perwakilan politik tampaknya berkembang dari
penelitian-penelitian mengenai badan legislatif yang lebih dikenal dengan
parlemen. Studi mengenai parlemen dari tahun ketahun semakin intensif.
Penelitian atau orientasi studi tentang badan legislatif mengalami perkembangan
dalam tiga tahapan, yaitu:
1. Penelitian yang beorientasi pada
kelembangaan (institusional)
Pendekatan kelembagaan melihat parlemen dari struktur dan fungsinya. pendekatan institusional memberikan pemahaman tentang hubungan formal antara wakil dengan terwakil yang terwujud sebagai pemilih, tapi kurang menjelaskan hubungan didalam kenyataan disamping kurang menerangkan interaksi yang sesungguhnya terjadi di dalam lembaga
Pendekatan kelembagaan melihat parlemen dari struktur dan fungsinya. pendekatan institusional memberikan pemahaman tentang hubungan formal antara wakil dengan terwakil yang terwujud sebagai pemilih, tapi kurang menjelaskan hubungan didalam kenyataan disamping kurang menerangkan interaksi yang sesungguhnya terjadi di dalam lembaga
2. Proses, pendekatan proses melihat
objek studi ini melalui proses pembuatan keputusan sebagai fungsi utamanya
3. Tingkah laku (behavioral), maka
penelitian berdasarkan tingkah laku memperhatikan sikap dan tingkah laku para
anggota parlemen dalam menghasilkan setiap keputusan. Perkembangan pendekatan
tingkah laku dalam bentuk studi individual telah mendorong pengembangan teori
berkaitan (linkage theory) yang mengabtraksikan hubungan individual diantara
wakil dengan terwakil. Dalam rangka itu peneliti menekuti style (corak)
perwakilan yang berada dalam tiga kemungkinan, yaitu delegasi/utusan, wali dan
politico yang merupakan gabungan antara tipe utusan dan wali.
Terwakil
Ada tiga kemungkinan yang dapat
dimamfaatkan wakil untuk memusatkan perhatian terhahap terwakil, yaitu:
1. Memberkan perhatian kepada kelompok,
seorang wakil akan memberikan perhatian pada kelompok terutama kelompok
pendudkungnya yang menjadi konstituennya ketika pemilu berjalan (contoh nyata
dalam hal ini adalah calon independen dan utusan golongan pada masa orde baru
ketika MPR masih ada utusan golongan). Fokus perwakilan pada kelompok pada
dasarnya merupakan pilihan yang tersedia berhubungan dengan sifat masyarakat
yang pluralistis. Masyarakat terkelompok atas tradisi, kedaerahan, ras dan
bahasa, agama, mata pencaharian. Wakil tinggal memilih satu atau beberapa
kelompok sebagai patokan bagi pengambilan keputusan
2. Memberikan perhatian partai,
memberikan pada partai yang mendukungnya sehingga seseorang menjadi wakil. Fokus
perwakilan terhadap partai tentulah memudahkan pengorganisasin tugasnya, sebab
melalui fokus ini wakil sekaligus berbuat untuk dua pihak yaitu sebagai
organisasi politik yang berjasa menudukungnya menjadi wakil dan masyarakat yang
bersimpati, mendukung ataupun menjadi anggota partai yang bersangkutan.
3. Memberikan perhatian pada wilayah
atau daerah yang diwakili. Seorang wakilharus memberikan perhatian lebih pada
daerah atau wilayah tertantu terutama daerah dari mana seorang dipilih, contoh
yang paling nyata untuk hal ini adalah DPD dan wakil yang berasal dari daerah
pemilihnnya ketika pemilihan umum berlangsung.
Wakil
Wakil adalah merupakan orang yang
mempunyai kulifikasi yang tentunya berhak dan cakap dalam menjalankan tugas
sebagai amanat dari terwakil yang memberikan kepercayaan kepadanya untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat dalam arti yang luas. Cara jadi wakil umumnya dilakukan atau
diabsahkan melalui pemungutan suara, tapi juga dalam beberapa era dan daerah
(negara) masih ada yang tidak harus melalui pemilihan umum tapi melalui
pengangkatan dan turun temurun seperti yang terjadi ketika jaman orde baru ada
yang diangkat seperti ABRI (militer dan polisi saat ini) dan juga utusan
golongan dan daerah) untuk negara inggris yang mengisi house of lord adalah
orang-orang yang sifatnya turun temurun, ditunjuk dan diangkat.
Pemilihan umum dianggap sebagai tata
cara menjadi anggota badan perwakilan modern karena cari ini memberikan peluang
kepada anngota masyarakat untuk menyusun wakil-wakilnya secara mandiri.
Perkembangan pemilihan umum ternyata memperlihatkan ada berbagai sistem yang
pada pokoknya berpangkal kepada dua bentuk yang utama yaitu:
1) Multy member constituency (sistem
pemilu proporsional
2) Single member constituency (sistem pemilu
distrik)
C. Teori Perwakilan
Dalam
konteks teori modern, teori perwakilan merupakan mekanisme hubungan antara
penguasa dan rakyat. Dalam negara yang menggunakan sistem politik demokrasi
modern, demokrasi representatif merupakan sistem politik yang berbeda dengan
kerangka kerja demokrasi langsung.
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, ada tiga faktor utama yang menjadi nilai keunggulan demokrasi
representatif dibandingkan demokrasi langsung, yaitu perubahan jumlah penduduk,
keadaan wilayah suatu negara yang relatif luas, dan meningkatnya kompleksitas
kepentingan rakyat. Variasi kebutuhan dan
kepentingan rakyat ini harus dihadapi oleh pemerintah. Namun demikian,
secara rasional tidak semua masalah dapat disampaikan secara kolektif kepada
pemerintah secara langsung, karena bila hal ini dilakukan akan menyebabkan overload tuntutan
pada pemerintah yang justru dapat membuat kemandekan kerja. Implikasi dari ha1
tersebut maka dibutuhkan sebuah sistem perwakilan yang dapat menghubungkan
antara masyarakat struktur dan masyarakat sebagai agensi.
Berdasarkan
kajian teori terhadap analisa dan pandangan-pandangan para pemikir ilmu
politik, setidaknya ada lima konsep dasar perwakilan yang umum yang terjadi
(dalam Adrianus, dkk, 2006: 108-109). Kelima konsep dasar perwakilan tersebut
yaitu :
(i) Delegated
Representation, yaitu seorang wakil diartikan sebagai juru bicara atas nama
kelompok yang diwakilinya. Dengan demikian, seorang wakil tidak boleh bertindak
di luar kuasa yang memberi mandat.
(ii) Microcosmic
Representation, konsep ini menunjukkan bahwa adanya kesamaan sifat-sifat
antara mereka yang diwakili dengan diri sang wakil. Karenanya kebutuhan ataupun
tuntutan wakil adalah juga kebutuhan mereka-mereka yang diwakili. Dalam konsep
ini masalah kuasa dan hal-hal yang harus dilakukan tidak pernah menjadi
persoalan krusial antara wakil dan yang diwakili oleh karena kesamaan sifat
yang dimiliki.
(iii) Simbolyc
Representation. Dalam simbolyc representation tidak dipersoalkan
juga mengenai masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan. Konsep ini hanya
menunjukkan bahwa wakil melambangkan identitas atau kualitas golongan/kelas
orang-orang tertentu yang diwakilinya, dan merupakan bentuk perwakilan yang
hendak memperlihatkan bahwa mereka-mereka yang mewakili kelompok tertentu
melambangkan identitas atau kualitas klas atau golongan yang tengah
diwakilinya.
(iv) Elective Representation,
konsep ini dianggap belum menggambarkan kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan
wakil mereka, sehingga belum menjelaskan tentang hubungan antara wakil dengan
yang memilihnya.
(v) Party
Repressentation, individu-individu dalam lembaga perwakilan merupakan wakil
dari partai politik (atau konstituen) yang diwakilinya. Semakin meningkatnya
organisasi dan disiplin partai mendorong lahirnya party bosses dan party
caucauses. Para wakil dalam lembaga perwakilan menjadi wakil dari
organisasi /partai politik yang bersangkutan.
Konsep
perwakilan pun dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antara wakil dan yang
diwakili. Berdasarkan sudut pandang ini, dikenal ada tiga teori perwakilan,
yang pertama teori mandat. Berdasarkan teori mandat (Saragih, 1988: 82), konsep perwakilan dapat dilihat dalam tiga
kelompok, yaitu mandat imperatif
(tindakan sesuai dengan perintah yang memberi mandat), mandat
bebas (wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari perintah yang
diwakilinya), serta mandat representation (wakil tidak kenal yang
diwakili karena ditunjuk oleh partai).
Kedua,
Teori Sosiologi Rieker, hubungan wakil dan yang diwakili lebih bersifat sosial
daripada politis. Sang pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang dapat
merepresentasikan kebutuhan dan tuntutan mereka kepada eksekutif yang menurut
mereka benar-benar ahli di bidang kenegaraan dan akan benar-benar membela
kepentingan pemilih.
Ketiga,
Teori Organ, teori menjelaskan bahwa negara merupakan suatu organisme yang
mempunyai alat-alat perlengkapannya, serta memiliki fungsi masing-masing dan
saling bergantung. Dalam konteks ini kedaulatan rakyat sangat tampak pada saat
mereka melaksanakan pemilih untuk membentuk lembaga perwakilan yang diinginkan.
Setelah lembaga tersebut berdiri, rakyat pemilih tidak perlu lagi turut campur
dalam berbagai kerja lembaga-lembaga negara tersebut.
Keempat,
Teori Hukum Objektif Leon Duguit. Dasar hubungan antara wakil dan yang diwakili
adalah solidaritas. Ilustrasi sederhananya, wakil rakyat dapat menjalankan
tugas-tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sebaliknya rakyat tidak akan
dapat melaksanakan tugas-tugas kenegarannya tanpa mendukung wakilnya dalam
menentukan wewenang pemerintah.
Dengan
mencermati analisa konseptual dan kategori perwakilan khususnya tentang model
hubungan wakil dengan rakyatnya dapat disimpulkan bahwa semua teori perwakilan
mempunyai sifat perwakilan politik. Artinya seseorang yang duduk di lembaga
perwakilan harus melalui proses pemilihan (umum) sebagai suatu mekanisme dalam
proses politik. Karena itu yang tercipta adalah political representation,
karena orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan itu pada umumnya
mewakili rakyat melalui partai politik (Budiardjo, 2005: 175).
III.
Kesimpulan
Perwakilan politik sebagai sebuah
praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum
teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di
laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman
Yunani kuno, Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup.
Pola hubungan wakil-terwakil akan menentukan fokus
perwakilan. Corak perwakilan
inilah yang nantinya akan menentukan perjalanan transisi demokrasi. Hubungan wakil
yang erat dengan kontituennya akan menempatkan konstituen di posisi penting,
sehingga aspirasi konstituen menjadi hal yang harus diperjuangkan wakil. Konsep dasar
perwakilan ada 5 yaitu, Delegated Representation, Microcosmic Representation, Simbolyc Representation, Elective Representation, Party Repressentation, kelima konsep itu di lihat dari hubungan wakil dan
mewakili. Perwakilan politik sebagai simbol dari wakil rakyat kepada rakyatnya.
ijin copy yaa, buat tugas. makasi
BalasHapusDaftar pustaka nya dong kak:)
BalasHapus